Perpustakaan
yang ideal pada dasarnya adalah sebuah perpustakaan yang mampu memberdayakan
masyarakat. Perpustakaan yang mampu melakukan revolusi minat baca pada
masyarakat. Mampu mengubah karakter masyarakat dari tidak suka membaca menjadi
suka membaca. Mengubah masyarakat tuna informasi menjadi masyarakat yang
berliterasi atau melek informasi.
Untuk itu sebuah perpustakaan yang ideal harus memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1. Struktur kelembagaan yang kuat
Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan hanya mengatur kelembagaan
perpustakaan secara normatif. Selama ini aspek kelembagaan perpustakaan masih
belum jelas, masih menumpang pada peraturan perundangan lain.
Untuk
mewujudkan aspek kelembagaan yang kuat, peraturan pelaksana (dalam bentuk
Peraturan Pemerintah) perlu secara tegas menentukan status eselon bagi
masing-masing jenis perpustakaan. Perpustakaan umum provinsi berbentuk badan
(eselon II A), perpustakaan umum kabupaten/kota berbentuk kantor (eselon III
A), perpustakaan umum kecamatan berbentuk UPTD (eselon IVA), perpustakaan desa
dan sekolah bereselon IV B.
Dengan
aturan semacam ini perpustakaan akan lebih diperhatikan oleh pemerintah daerah
dan peluang untuk mendapat anggaran yang memadai akan semakin besar.
2. Memiliki desain ruang yang menarik.
Selama ini ruang perpustakaan terkesan sebagai ruang yang serius dan kaku.
Padahal perpustakaan dapat didesain dengan menarik dan terkesan santai.
Perpustakaan dapat didesain seperti tata ruang sebuah kafe. Penuh pernik-pernik
dan warna yang kontras.
Perpustakaan juga dapat menghadirkan taman dalam ruang baca. Kehadiran taman
ini diharapkan akan semakin membuat pemustaka betah untuk melakukan aktivitas
membaca, diskusi, belajar, dan mendengarkan musik di perpustakaan.
Desain ruang yang menarik tak harus mahal. Semua jenis perpustakaan dari yang
besar, menengah, bahkan yang tergolong pas-pasan dapat melakukan hal ini.
Perpustakaan yang sederhana jika melakukan desain interior yang optimal akan
mampu mengubah citra perpustakaan menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi
sekaligus dirindukan oleh penggemarnya.
3. Memiliki koleksi yang variatif sesuai keinginan pemustaka.
Semakin bervariasi koleksi sebuah perpustakaan akan semakin menarik hati
pemustaka. Menu sajian perpustakaan yang lengkap akan berpeluang besar untuk
menghadirkan pemustaka dari berbagai lapisan masyarakat.
Mengapa ? Galileo Gallilei pernah mengatakan,“Anda tidak bisa mengajari sesuatu
kepada seseorang, melainkan Anda hanya dapat membantu orang itu menemukan
sesuatu dalam dirinya”
Perpustakaan
hadir untuk mendobrak belenggu yang merantai minat baca masyarakat. Belenggu
minat baca masyarakat bersumber pada tiga hal. Pertama, belenggu
genetika. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang tidak suka
membaca cenderung akan melahirkan anak-anak yang juga tidak suka membaca.
Inilah yang disebut dengan tingkah laku imitasi. Seorang anak akan meniru
kebiasaan orang tua.
Kedua, belenggu sekolah. Orientasi pendidikan di
sekolah yang saat ini mengutamakan kelulusan dalam ujian akhir nasional secara
tidak langsung akan mematikan minat baca peserta didik. Demi menggapai
kelulusan dalam beberapa mata pelajaran yang di –UN- kan, peserta didik
menempuh cara praktis dengan mengikuti bimbingan belajar model “drilling soal“.
Model pembelajaran semacam ini memasung kreativitas dan inovasi peserta didik
yang hanya bisa didapat dengan proses membaca.
Ketiga, belenggu pergaulan. Pergaulan memiliki
pengaruh yang cukup besar untuk membentuk karakter seseorang. Teman bermain di
sekolah maupun di rumah yang tidak suka membaca akan mengakibatkan
seseorang juga tidak suka membaca.
Ketiga
macam belenggu di atas akan mampu dibuka oleh perpustakaan jika
perpustakaan bersikap permisif dan terbuka terhadap segala hobi,
kesenangan, dan kebiasaan yang ada di masyarakat.
Perpustakaan
ideal ialah perpustakaan yang mampu melakukan pendekatan kepada masyarakat
untuk membangkitkan potensi membaca yang ada di masyarakat. Pendekatan ini
disesuaikan dengan kegemaran, hobi, kesenangan, dan kebiasaan yang ada di
masyarakat.
4. Peningkatan kualitas dan kuantitas pustakawan
Pustakawan
yang berkualitas ialah pustakawan yang mampu berperan sebagai agen informasi,
ilmuwan, dan pendidik. Sebagai ilmuwan, pustakawan harus mampu memberdayakan
informasi bukan sekadar melayankan informasi. Andy Alayyubi (2001)
mengungkapkan bahwa pustakawan yang ideal selain profesional ia juga seorang
ilmuwan.
Selain
itu salah satu kendala utama dalam pengembangan perpustakaan di tanah air
adalah masih minimnya jumlah pustakawan. Cukup banyak perpustakaan sekolah yang
belum memiliki tenaga pustakawan.
Pemerintah perlu menyelesaikan masalah ini dengan mengangkat pustakawan
kontrak. Kalau untuk memenuhi kekurangan tenaga pengajar pemerintah mengangkat
guru kontrak, apa salahnya jika sekarang pemerintah mengangkat pustakawan
kontrak. Karena kebutuhan dunia pendidikan terhadap tenaga pengajar hakekatnya
sama pentingnya dengan kebutuhan perpustakaan sekolah terhadap pustakawan.
5. Mempunyai layanan yang berkualitas.
Karakteristik
layanan yang baik ini dapat dirangkum dalam akronim COMFORT,
yaitu Caring
(peduli), Observant
(suka memperhatikan), Mindful (hati-hati/cermat), Friendly
(ramah), Obliging
(bersedia membantu), Responsible (tanggung jawab), dan Tacful
(bijaksana).
Untuk
mewujudkan hal di atas layanan otomasi perpustakaan merupakan suatu
keniscayaan. Biaya bukanlah penghalang karena saat ini sudah ada program
otomasi perpustakaan yang bersifat open source, seperti PS Senayan.
Selain
itu, perpustakaan perlu meningkatkan ragam layanan perpustakaan. Ragam layanan
ini antara lain, pertama, membentuk klub pembaca. Perpustakaan
dapat memfasilitasi pembentukan kelompok pembaca, klub buku, kelompok penggemar
buku, maupun kelompok diskusi berdasarkan selera pembaca terhadap buku-buku
tertentu. Termasuk dalam klub baca ini adalah pembentukan keaksaraan fungsional
untuk menekan angka buta huruf di Indonesia.
Kedua, membentuk klub penulis. Pembukaan layanan
khusus tentang kepenulisan ini sangat penting, mengingat budaya menulis
merupakan tindak lanjut dari budaya membaca yang menjadi misi perpustakaan.
Mengembangkan budaya baca tanpa diikuti dengan budaya tulis, ibarat “membangun
rumah tanpa atap”, sangat rentan terhadap terpaan angin budaya lainnya.
Ketiga, membuka layanan lifeskill/kecakapan hidup.
Hal ini dapat ditempuh dengan membuka aneka kursus di perpustakaan. Kursus
komputer, Bahasa Inggris, jarimatika/sempoa, dan elektronika akan menjadi menu
layanan yang menyenangkan di perpustakaan. Mengapa ? Setelah membaca buku-buku
tentang pengembangan kecakapan hidup dapat langsung mempraktikkan di
perpustakaan juga.
Keempat, membuka layanan hotspot. Layanan hotspot
yang memberi akses internet gratis akan memudahkan pemustaka untuk mendapatkan
informasi secara optimal di perpustakaan.
Kelima, membentuk klub blogger. Saat ini aktivitas
”ngeblog” sudah cukup menjamur di tanah air. Bahkan Indonesia merupakan salah
satu negara dengan jumlah blogger yang cukup banyak. Aktivitas ”ngeblog” yang
sangat berkaitan dengan dunia baca-tulis sudah selayaknya dilakukan di
perpustakaan.
Keenam, membuka layanan perpustakaan secara online.
Hal ini dapat dilakukan dengan membuat blog perpustakaan di dunia maya. Blog
perpustakaan ini merupakan salah satu media yang cukup murah-meriah untuk
membentuk jaringan kerja-sama antar perpustakaan.
Ketujuh, membuka layanan galeri seni budaya.
Perpustakaan dapat menjadi salah satu pusat kebudayaan masyarakat dengan
menggelar secara periodik seni tari, musik, teater, mendongeng (story telling)
dan puisi.